RUKUN IHSAN
Rukun ketiga dari agama adalah Ihsan, yaitu: menyempurnakan ibadah dan melaksanakannya sesuai perintah, dengan penuh kekhusyukan, ketundukan, keikhlasan, dan kehadiran hati. Salah satu hal yang mendorong untuk melaksanakan itu adalah dengan menyadari keagungan dan kebesaran Allah serta menyaksikan bahwa Allah melihat setiap orang dalam setiap keadaan, baik saat diam maupun bergerak. Sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya (1), dengan sabda: “Bahwa kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Maka hamba harus senantiasa mengawasi Tuhannya dalam semua keadaannya, dan mengetahui bahwa Allah selalu mengawasi dirinya, mengetahui semua perbuatan dan ucapannya. Allah Ta'ala berfirman: “Dan kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an dari-Nya, dan kamu tidak mengerjakan suatu amal, melainkan Kami menyaksikanmu.” (Yunus: 61).
Dari penjelasan sebelumnya dapat dipahami bahwa:
Islam adalah: apa yang diwajibkan atas hamba secara lahiriah dari hukum-hukum syariat dan kewajiban-kewajiban fardhu yang dapat dikenali halal atau haram dalam ilmu-ilmu duniawi
- Iman adalah: ilmu tentang mengenal Allah, yaitu mengenal Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta hal-hal lain dari akidah-akidah yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang diridhai. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan 'La ilaha illallah' (tidak ada tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu juga merupakan salah satu cabang dari iman." (1)
- Ihsan adalah: ilmu tentang apa yang diwajibkan kepada hamba dalam batinnya terkait akhlak hati, yang dikenal dengan ilmu tasawuf. Ihsan berpusat pada tiga hal:
1. Menjauh dari tempat kehidupan yang penuh tipuan (dunia).
2. Kembali menuju tempat kehidupan yang kekal (akhirat).
3. Bersiap untuk mati sebelum kematiannya datang.
Ada juga yang mengatakan: ihsan adalah mengawasi Allah dengan keikhlasan niat, mengikuti jejak langkah Nabi, dan berpegang teguh pada adab-adab syariat.
Ilmu tasawuf
Tasawuf adalah meninggalkan setiap akhlak yang hina dan masuk ke dalam setiap akhlak yang mulia.
Apabila seorang hamba menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji yang disampaikan dalam sunnah-sunnah Nabi, dan membersihkan diri dari lawannya, yaitu akhlak-akhlak tercela, maka ia disebut sebagai sufi. Jadi, tasawuf adalah keindahan akhlak, dan siapa pun yang lebih baik darimu dalam akhlak, ia lebih baik darimu dalam tasawuf. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Amalan yang paling berat ditimbang di hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi). Dan juga dalam hadits lain: "Sesungguhnya orang mukmin dapat mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan akhlaknya yang baik." (HR. Abu Dawud).
Imam Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan bahwa akhlak-akhlak terpuji itu terbagi menjadi sepuluh, yaitu:
1. Taubat
2. Takut (kepada Allah)
3. Zuhud
4. Sabar
5. Syukur
6. Ikhlas
7. Tawakal
8. Cinta (kepada Allah)
9. Ridha
10. Mengingat kematian
Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta'ala dari jalan yang jauh kepada jalan yang dekat. Sesungguhnya, maksiat menjauhkan seseorang dari Allah Ta'ala, menyebabkan kemurkaan-Nya dan hukuman-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, wajib segera bertaubat dari semua dosa. Allah Ta'ala berfirman: "Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung." (QS. An-Nur: 31).
Taubat tidak sah kecuali dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Meninggalkan maksiat saat itu juga.
2. Menyesali perbuatannya di masa lalu.
3. Bertekad untuk tidak mengulanginya di masa mendatang.
Dan dalam taubat dari kezaliman terhadap orang lain, disyaratkan juga:
4. Mengembalikan hak-hak mereka, meminta keridhaan mereka, dan memohon maaf kepada mereka.
Barang siapa yang tidak mampu melakukannya, hendaknya memperbanyak amal kebaikan dan berbagai jenis amalan baik. Hendaklah ia merendahkan diri di hadapan Allah, Tuhan yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi, dan diharapkan kepada-Nya, setelah itu, agar menerima taubatnya, memberi haknya, dan membuat ciptaan-Nya ridha kepadanya. Apabila taubat itu memenuhi syarat-syarat ini, maka itulah yang disebut dengan taubat nasuha (taubat yang tulus)[1]; yaitu, taubat yang murni. Orang yang bertaubat dari dosanya seperti hari ketika ibunya melahirkannya, dan ia berhak mendapatkan cinta Allah Ta'ala. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa."
Ketahuilah bahwa setiap orang mukmin wajib menjaga diri dari dosa, baik yang kecil maupun yang besar, sebagaimana ia menjaga diri dari racun yang mematikan, api yang membakar, dan air yang menenggelamkan. Dan jika ia jatuh ke dalam salah satu dari dosa-dosa itu, hendaklah ia segera bertaubat tanpa menunda atau menangguhkan, sebelum kematian datang menghalanginya. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan." Maksudnya, selama ruhnya belum sampai ke tenggorokan saat kematian.
Luqman Al-Hakim[2]: "Wahai anakku, janganlah menunda taubat, karena sesungguhnya kematian datang secara tiba-tiba." [3]
Takut dan Harapan
Takut adalah: pengetahuan hati tentang keagungan Allah, kekuasaan-Nya, beratnya hukuman-Nya, dan pedihnya azab-Nya. Buahnya adalah: menahan diri dari hal-hal yang tidak diridhai Allah Ta'ala, sehingga rasa takut itu menjadi pencegah yang menghalangi seseorang dari melakukan maksiat dan pelanggaran.
Sedangkan harapan adalah: prasangka baik kepada Allah karena pengetahuan hati akan keluasan rahmat-Nya, kelembutan-Nya yang agung, dan kasih sayang-Nya. Buahnya adalah:
"Mendorong untuk beramal saleh, karena harapan adalah pemimpin yang menuntun hamba menuju ketaatan dan kesesuaian dengan perintah Allah.
Maka diketahui bahwa takut dan harapan adalah dua obat yang bermanfaat untuk penyakit hati, seperti merasa aman dari makar Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya. Keduanya termasuk dosa besar. Allah berfirman: 'Maka tidak ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang rugi' (Al-A'raf: 199)[4], dan 'Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir' (Yusuf: 87).
Dalam hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman: 'Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan dua ketakutan atau dua rasa aman pada hamba-Ku; jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberinya rasa aman pada hari kiamat. Dan jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan membuatnya takut pada hari kiamat.'
Para ahli ma'rifat, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan mereka, berkata: yang lebih utama bagi orang yang istiqamah dalam agama, hendaknya rasa takut dan harapannya seimbang, seperti dua sayap burung.[5] Adapun orang yang tidak lurus—yaitu yang meremehkan perintah dan larangan Allah, serta berani melanggar batas-batas dan bermaksiat kepada-Nya—maka yang lebih baik baginya adalah memperkuat rasa takut hingga dia menjadi lurus. Kecuali jika seseorang sudah mendekati kematian, dan akan menghadap Allah serta berpindah ke alam akhirat, maka seharusnya harapanlah yang lebih dominan dalam hatinya, agar dia meninggal dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta'ala. Dalam sebuah hadits disebutkan: "Janganlah salah seorang dari kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta'ala." Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Jika kalian melihat seseorang mendekati kematian, maka gembirakanlah dia agar dia bertemu dengan Tuhannya dengan berbaik sangka kepada-Nya. Namun, jika dia masih hidup, takutkanlah dia."
[1] Sebagian ulama berkata: Taubat nasuha adalah ketika seseorang bertaubat dan istiqamah (konsisten) dalam taubatnya hingga akhir hayatnya, serta tidak berkeinginan untuk kembali kepada dosa-dosa, dan ia memperbaiki apa yang telah ia sia-siakan dalam hidupnya.
[2] Seorang teman bijaksana yang berumur panjang yang hidup pada zaman Bani Israil, dikatakan bahwa ia adalah keponakan dari Nabi Ayyub 'alaihis-salam, dan banyak hikmah serta wasiat yang diriwayatkan darinya. Al-Allamah Al-Habib Ali bin Hasan Al-Attas rahimahullah menulis buku berjudul "Luqman Al-Hakim dan Hikmahnya" yang sudah dicetak.
[3] Faedah: Di antara tanda-tanda orang yang bertaubat dengan tulus adalah terus-menerus merasa sedih dan rendah hati, banyak berdoa, menangis, dan beristighfar, menjauhi tempat-tempat di mana ia pernah bermaksiat kepada Allah, serta meninggalkan teman-teman buruk dan orang-orang fasik. Ini disampaikan oleh Imam Abdullah Al-Haddad dalam Ad-Da'wah At-Tammah. (M).
[4] Arti dari rasa aman adalah hati yang terbebas dari rasa takut, sehingga tidak mungkin bahwa Allah akan menghukumnya. Sedangkan arti dari putus asa adalah hati yang terbebas dari harapan, sehingga tidak mungkin bahwa Allah akan merahmatinya. (M)"
[5] Barang siapa yang salah satu dari dua perasaan (takut atau harap) mendominasi dirinya, dia membutuhkan pengobatan hingga kembali ke keadaan seimbang. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah berkata: "Jika ada suara yang memanggil pada hari kiamat, 'Semua manusia akan masuk surga kecuali satu orang,' maka aku akan takut kalau-kalau akulah orang itu. Dan jika ada suara yang memanggil, 'Semua manusia akan masuk neraka kecuali satu orang,' maka aku akan berharap bahwa akulah orang itu." (M)
Komentar
Posting Komentar