ZUHUD
Dia mengambil dunia hanya untuk fasilitas kemudahan
beribadah kepada Allah Swt dan adapun dunia-dunia yang menggangu ibadah maka
mereka singgirkan.
Orang yang bisa mengelola dunia untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Orang zuhud itu bukan yang memakai pakaian compang
camping, makan seminggu sekali, tidak memakai harum-haruman.
Misalnya membeli quran yang besar untuk membaca al-quran,
beli motor bua ngaji.
Kalau ada yang hidup sengsara, maka itu adalah awal dari
zuhud, tetapi bukan hakikat zuhud itu sendiri.
Membuang dunia yang mencegahnya kepada Allah.
Misalnya ada 10 barang diseleksi. Misalnya ada barang
yang membuat dekat akhirat, yang membuat jauh maka disingkirkan.
Orang yang paling pintar adalah orang yang paling zuhud.
Cari pekerjaan yang membuat dia bersyukur.
Orang yang tidak pintar itu adalah yang tidak bisa
membedakan yang membuat dia sengsara di akhirat. Sudah tau ada ular kenapa di
dekatin!.
Imam Al-Ghazali
menerangkan zuhud yang berkaitan harta duniawi. Menurutnya, banyak orang keliru
memahami zuhud. Banyak orang mengira, zuhud merupakan kondisi papa dan menjauhi
kehidupan (harta) duniawi. Ini anggapan keliru yang terlanjur populer di
masyarakat.
Imam Al-Ghazali
kemudian meluruskan kekeliruan pandangan terkait zuhud sebagaimana berikut:
اعلم أنه قد يظن أن تارك المال زاهد وليس كذلك فإن ترك المال وإظهار
الخشونة سهل على من أحب المدح بالزهد
Artinya,
“Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah
orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan
harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang
berambisi dipuji sebagai seorang zahid,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
[Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 252).
Adapun hakikat
zuhud itu sendiri adalah kondisi batin yang tidak tercemar oleh ambisi harta
duniawi. Hal ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika menceritakan kezuhudan
ulama besar dalam Islam Imam Malik ra yang kaya raya dan dermawan.
Imam Malik ra
adalah orang yang zuhud di mana harta duniawi tidak singgah di dalam hati dan
pikirannya. Sementara ia adalah ulama besar yang kaya raya.
وليس الزهد فقد المال وإنما الزهد فراغ القلب عنه ولقد كان سليمان
عليه السلام في ملكه من الزهاد
Artinya, “Zuhud
bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari harta
duniawi. Nabi Sulaiman as sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap
tergolong orang yang zuhud,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: I/43).
Imam Al-Ghazali
kemudian tiga tanda kezuhudan.
1. Tidak
terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan harta.
العلامة الأولى أن لا يفرح بموجود ولا يحزن على مفقود كما قال تعالى
لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم
Artinya, “Tanda
pertama, tidak berbangga ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta
sebagaimana firman Allah, ‘Agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput
dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian,’ (Surat
Al-Hadid ayat 23),” (Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).
2. Tidak
terpengaruh oleh pujian dan hinaan.
العلامة الثانية أن يستوى عنده ذامه ومادحه
Artinya, “Tanda
kedua, orang yang menghina dan memujinya sama saja baginya,” (Imam Al-Ghazali,
2018 M: IV/252).
Kalau tanda
pertama berkaitan dengan kezuhudan harta, maka tanda kedua berkaitan dengan
kezuhudan kepangkatan/kewibawaan, kata Imam Al-Ghazali.
Az-Zabidi dalam
Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin Syarah Kitab Ihya Ulumiddin mengatakan perihal
tanda kedua. Menurutnya, orang yang zuhud takkan bahagia mendengar pujian orang
lain dan tidak kecewa menerima hinaan orang lain.
3. Terhibur
atau senang dengan Allah SWT.
العلامة الثالثة أن يكون أنسه بالله تعالى والغالب على قلبه حلاوة
الطاعة
Artinya, “Tanda
ketiga, senang dengan Allah yang ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam
hatinya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ سُلَيْمَانَ
عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ
جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ وَفِي الْبَاب عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا
الْوَجْهِ
Telah
menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami ['Abdul
Hamid bin Sulaiman] dari [Abu Hazim] dari [Sahl bin Sa'ad] dia berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Seandainya dunia itu di
sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang
orang kafir walaupun hanya seteguk air." Dan dalam bab ini ada hadits dari
Abu Hurairah, Abu Isa berkata: Hadits ini shahih gharib dari jalur sanad ini.
Hadits Tirmidzi
Nomor 2242
Allah SWT
membandingkan antara dunia disepadankan bahkan kurang dibandingkan sebelah sayap nyamuk, hal ini
dimaksudkan agar orang beriman tidak terpesona lalu terjebak pada pola
hidup mendahulukan dunia. Ada yang sibuk
bekerja dari pagi hingga malam hari, ada yang lupa dengan sanak famili karena
kesibukan mencari harta, ada pula yang hingga bermusuhan dengan sesama karena
memperebutkan dunia, bahkan ada yang mau menggadaikan harga diri dan agama
untuk mendapatkan dunia. Semuanya terjadi karena sudah begitu terpesona dengan
kehidupan dunia yang memikat itu.
Komentar
Posting Komentar